[Biak Berdarah, 6 Juli 1998. By Hara Nirankara]
Jenderal Soeharto mundur sebagai Presiden Indonesia pada bulan Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa secara otoriter. Laporan dari ICTJ Kontras menyajikan kajian tentang mekasnisme keadilan transisi pada periode perubahan pasca Soeharto. Periode yang dikenal dengan sebutan reformasi itu diawali dengan perubahan drastis yang penuh harapan untuk memperkuat sistem pertanggung-jawaban yang efektif. Namun perubahan ini beralih menjadi periode penuh kompromi sebelum akhirnya mandeg sama sekali.
Dalam periode reformasi, pemerintahan pasca Soeharto menciptakan atau membuat dasar hukum bagi terbentuknya beberapa komisi penyelidikan, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, lembaga untuk perlindungan saksi dan korban, pengadilan HAM permanen, serta pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus tertentu. Perlindungan terhadapan HAM dalam masuk konstitusi nasional, beragam perjanjian internasional diratifikasi, mahkamah konstitusi dibentuk, juga dihapuskannya jaminan kursi di legislatif bagi institusi keamanan negara.
Reformasi dimulai dengan pencapaian dramatis yang memunculkan harapan bagi berakhirnya impunitas berkepanjangan atas pelanggaran HAM.
6 Juli 1998, ada sebuah tragedi berdarah yang terjadi di Biak yang dikenal dengan peristiwa “biak berdarah”. Data yang dikumpulkan oleh Gereja Injil Irian Jaya menyebutkan, 8 orang meninggal, 3 orang hilang, 4 orang luka berat, 33 orang luka ringan, dan 150 orang ditahan secara paksa.
Kasus ini bermula ketika ratusan massa berkumpul di lapangan dekat bangunan menara air biak guna mendengarkan orasi dari Pilips Karma yang pada saat itu mengibarkan bendera kuning kejora di puncak menara air. Ratusan massa yang berkumpul di menara air ditembaki oleh aparat karena pengibaran bendera kuning kejora. Pilip Karma ditendang kepalanya sebanyak lebih dari sepuluh kali, kedua kakinya ditembak peluru karet, kepalanya dipukul menggunakan gagang senjata hingga pingsan sampai sadar kembali. “Saya bersiap-siap karena akan dilempar ke lantai yang keras, tapi yang saya rasa justru empuk. Ternyata, tubuh saya jatuh di tumpukan manusia”. Kata Pilip Karma.
“Peristiwa biak adalah kejadian yang juga dikenal dengan pusara tanpa nama, nama tanpa pusara. Sampai sekarang tidak ada hukuman bagi pelaku penembakan dan kekerasan”. Ujar Pilip kepada Indoprogress.
Ketidakadilan pemerintah Indonesia terhadap Papua membuat Pilip gerah. Pengadilan akhirnya menjatuhi hukuman 6,5 tahun penjara kepada Pilip atas peristiwa biak dan dituduh akan melakukan makar. Namun ia bebas demi hukum setelah mengajukan banding pada November 1999. Empat tahun berselang, Pilip kembali mengorganisir peringatan kedaulatan Papua pada 1 Desember 2004. Ia kembali ditangkap dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Pada 6 Juli 1998 sekitar pukul 04.00 waktu setempat, aparat keamanan mulai menyisir menuju ke lokasi pengibaran bendera kejora. Di lokasi tersebut, masih terdapat kumpulan massa yang berjumlah sekitar 300 orang. Mereka ditodong dengan senjata dan dipopor senjata supaya meninggalkan lokasi. Aparat keamanan dengan senjata lengkap mulai mendekat ke kumpulan massa dan membentuk formasi huruf U. Ratusan aparat mengepung massa dan mendesak mereka mundur ke pelabuhan yang jaraknya sekitar 200 meter dari lokasi aksi. Sekitar pukul 4, aparat mulai melepaskan gtembakan secara membabi buta dalam jarak sekitar 20 meter.
Sebenarnya jika saya lihat atas peristiwa biak berdarah adalah didasari oleh rasa cemburu karena masyarakat papua terus saja mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Apa yang terlintas di pikiran saya ternyata berjalan searah dengan apa yang dituliskan Pilip Karma pada sebuah buku yang berjudul “Seakan Kitaorang Setengah Binatang”. Menurut Pilip, di aceh terdapat gerakan Aceh Merdeka yang mengadakan peringatan ulang tahun aceh merdeka secara terbuka pada 4 Desember 1998, mereka juga mengeluarkan bendera merah bulan sabit. Menurut Pilip, yang melatarbelakangi aksi di Biak tersebut karena telah sekian lama rakyat Papua dikecam ketakutan, mereka tidak berani berekspresi apa yang menjadi aspirasinya. Banyak pembantaian yang terjadi di Biak, para perempuan diperkosa dan banyak kasus penculikan. Hal itu terjadi karena pada tahun 1960an hingga mendekati 1980, daerah baik merupakan daerah operasi militer.
Saking banyaknya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua seharusnya membuat kita semua sadar dan merangkul saudara kita yang ada di Papua. Apa yang telah mereka terima sejak bangsa ini merdeka pertama kali hingga hari ini seharusnya bisa membuat pemerintah pusat peduli sehingga rakyat Papua bisa menikmati kemerdekaan secara utuh. Tidak hanya pembanguna infrastruktur ataupun harga kebutuhan pokok yang ada di Papua. Pemerintah pusat juga harus memperhatikan berbagai kasus pelanggaran yang terjadi. Masyarakat Papua juga butuh sebuah pengakuan, keadilan atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi.
Referensi esai: Seakan Kitaorang Setengah Binatang, Filep Karma. Memoria Passionis di Papua, Van Den Broek. Keadilan Transisi di Indonesia Setelah jatuhnya Soeharto, Laporan ICTJ dan KontraS. Solusi Damai di tanah Papua, Natalius Pigai. Indoprogress[dot]com. Suarapapua[dot]com. Tirto[dot]id. Bbc[dot]com.