Peristiwa Biak Berdarah

[Biak Berdarah, 6 Juli 1998. By Hara Nirankara]

Jenderal Soeharto mundur sebagai Presiden Indonesia pada bulan Mei 1998 setelah 32 tahun berkuasa secara otoriter. Laporan dari ICTJ Kontras menyajikan kajian tentang mekasnisme keadilan transisi pada periode perubahan pasca Soeharto. Periode yang dikenal dengan sebutan reformasi itu diawali dengan perubahan drastis yang penuh harapan untuk memperkuat sistem pertanggung-jawaban yang efektif. Namun perubahan ini beralih menjadi periode penuh kompromi sebelum akhirnya mandeg sama sekali.

Dalam periode reformasi, pemerintahan pasca Soeharto menciptakan atau membuat dasar hukum bagi terbentuknya beberapa komisi penyelidikan, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, lembaga untuk perlindungan saksi dan korban, pengadilan HAM permanen, serta pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus tertentu. Perlindungan terhadapan HAM dalam masuk konstitusi nasional, beragam perjanjian internasional diratifikasi, mahkamah konstitusi dibentuk, juga dihapuskannya jaminan kursi di legislatif bagi institusi keamanan negara.

Reformasi dimulai dengan pencapaian dramatis yang memunculkan harapan bagi berakhirnya impunitas berkepanjangan atas pelanggaran HAM.

6 Juli 1998, ada sebuah tragedi berdarah yang terjadi di Biak yang dikenal dengan peristiwa “biak berdarah”. Data yang dikumpulkan oleh Gereja Injil Irian Jaya menyebutkan, 8 orang meninggal, 3 orang hilang, 4 orang luka berat, 33 orang luka ringan, dan 150 orang ditahan secara paksa.

Kasus ini bermula ketika ratusan massa berkumpul di lapangan dekat bangunan menara air biak guna mendengarkan orasi dari Pilips Karma yang pada saat itu mengibarkan bendera kuning kejora di puncak menara air. Ratusan massa yang berkumpul di menara air ditembaki oleh aparat karena pengibaran bendera kuning kejora. Pilip Karma ditendang kepalanya sebanyak lebih dari sepuluh kali, kedua kakinya ditembak peluru karet, kepalanya dipukul menggunakan gagang senjata hingga pingsan sampai sadar kembali. “Saya bersiap-siap karena akan dilempar ke lantai yang keras, tapi yang saya rasa justru empuk. Ternyata, tubuh saya jatuh di tumpukan manusia”. Kata Pilip Karma.

“Peristiwa biak adalah kejadian yang juga dikenal dengan pusara tanpa nama, nama tanpa pusara. Sampai sekarang tidak ada hukuman bagi pelaku penembakan dan kekerasan”. Ujar Pilip kepada Indoprogress.

Ketidakadilan pemerintah Indonesia terhadap Papua membuat Pilip gerah. Pengadilan akhirnya menjatuhi hukuman 6,5 tahun penjara kepada Pilip atas peristiwa biak dan dituduh akan melakukan makar. Namun ia bebas demi hukum setelah mengajukan banding pada November 1999. Empat tahun berselang, Pilip kembali mengorganisir peringatan kedaulatan Papua pada 1 Desember 2004. Ia kembali ditangkap dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

Pada 6 Juli 1998 sekitar pukul 04.00 waktu setempat, aparat keamanan mulai menyisir menuju ke lokasi pengibaran bendera kejora. Di lokasi tersebut, masih terdapat kumpulan massa yang berjumlah sekitar 300 orang. Mereka ditodong dengan senjata dan dipopor senjata supaya meninggalkan lokasi. Aparat keamanan dengan senjata lengkap mulai mendekat ke kumpulan massa dan membentuk formasi huruf U. Ratusan aparat mengepung massa dan mendesak mereka mundur ke pelabuhan yang jaraknya sekitar 200 meter dari lokasi aksi. Sekitar pukul 4, aparat mulai melepaskan gtembakan secara membabi buta dalam jarak sekitar 20 meter.

Sebenarnya jika saya lihat atas peristiwa biak berdarah adalah didasari oleh rasa cemburu karena masyarakat papua terus saja mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Apa yang terlintas di pikiran saya ternyata berjalan searah dengan apa yang dituliskan Pilip Karma pada sebuah buku yang berjudul “Seakan Kitaorang Setengah Binatang”. Menurut Pilip, di aceh terdapat gerakan Aceh Merdeka yang mengadakan peringatan ulang tahun aceh merdeka secara terbuka pada 4 Desember 1998, mereka juga mengeluarkan bendera merah bulan sabit. Menurut Pilip, yang melatarbelakangi aksi di Biak tersebut karena telah sekian lama rakyat Papua dikecam ketakutan, mereka tidak berani berekspresi apa yang menjadi aspirasinya. Banyak pembantaian yang terjadi di Biak, para perempuan diperkosa dan banyak kasus penculikan. Hal itu terjadi karena pada tahun 1960an hingga mendekati 1980, daerah baik merupakan daerah operasi militer.

Saking banyaknya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua seharusnya membuat kita semua sadar dan merangkul saudara kita yang ada di Papua. Apa yang telah mereka terima sejak bangsa ini merdeka pertama kali hingga hari ini seharusnya bisa membuat pemerintah pusat peduli sehingga rakyat Papua bisa menikmati kemerdekaan secara utuh. Tidak hanya pembanguna infrastruktur ataupun harga kebutuhan pokok yang ada di Papua. Pemerintah pusat juga harus memperhatikan berbagai kasus pelanggaran yang terjadi. Masyarakat Papua juga butuh sebuah pengakuan, keadilan atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi.

Referensi esai: Seakan Kitaorang Setengah Binatang, Filep Karma. Memoria Passionis di Papua, Van Den Broek. Keadilan Transisi di Indonesia Setelah jatuhnya Soeharto, Laporan ICTJ dan KontraS. Solusi Damai di tanah Papua, Natalius Pigai. Indoprogress[dot]com. Suarapapua[dot]com. Tirto[dot]id. Bbc[dot]com.

Membaca dan Hegemoni Perlawanan

[Membaca dan Hegemoni Perlawanan. By Mr.A]

Peringkat membaca Indonesia yang berada diperingkat buncit memang tidaklah salah. Hal itu nyata sesuai dengan apa yang terjadi di negara ini, terutama dalam hal membaca. Banyak sekali sebagian besar dari kita yang enggan untuk membaca sebuah tulisan. Ketika mereka melihat suatu judul maupun cover yang kontroversial, jemari mereka secara otomatis mengetik sebuah komentar yang sama sekali tidak berguna. Kalimat umpatan dan hinaan sering sekali mereka tulis tatkala melihat judul dan cover yang kontroversial tanpa membaca isinya.

Buku yang berjudul “Aku Bangga Jadi Anak PKI” juga tidak luput dari cacian mereka. Katanya ada PKI di pemerintahan, katanya istana negara telah disusupi oleh PKI. Padahal isi buku tersebut menggambarkan kecintaan seorang anak kepada orang tuanya sebagai anggota PKI. Menurut saya, tidak ada yang salah dengan rasa bangga atau kecintaan seorang anak kepada orang tuanya, apapun profesinya.

Faktanya orang tua yang mempunyai image buruk di masyarakat namun sangat mencintai dan melindungi keluarganya adalah salah satu hal yang perlu diapresiasi. Tidak peduli apakah orang tua tersebut seorang kriminal, reisidivis, anggota PKI, pelacur, dll. Seorang anak patut bangga kepada orang tuanya yang dengan penuh kasih sayang membesarkannya.

Saya pernah menonton sebuah film biografi. Dalam film tersebut terdapat sebuah kelurga tanpa seorang ibu [sudah meninggal]. Pekerjaan sang ayah adalah sebagai pelaku kriminal, mafia, pengedar narkoba. Namun sang ayah membesarkan kedua anaknya dengan penuh kasih sayang. Keluarga tanpa ibu tersebut hidup harmonis, saling menyayangi satu sama lain. Walaupun kedua anaknya mengetahui pekerjaan sang ayah sebagai mafia, namun kedua anaknya sangat mencintai ayahnya. Sampai suatu hari sang ayah terkena timah panas dari seorang polisi yang sempat dekat dengan keluarga tersebut.

Seharusnya apa yang ada pada buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” mampu memberikan kita semua pelajaran berharga, betapa wajibnya kita menghormati dan bangga kepada kedua orang tua kita.

Hal serupa juga terjadi pada beberapa esai yang saya buat. Mereka hanya melihat cover dan judul yang kontroversial [terkait agama], mereka langsung melancarkan serangan kepada saya dan menolak setiap argumen yang saya susun ke dalam esai. Kebanyakan dari mereka yang menghina dan mencibir esai yang saya buat, adalah mereka yang malas untuk membaca. Bukan hanya tentang agama, tapi juga tentang PKI dan berbagai tragedi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di negara ini.

Saya memang sengaja memilih gambar dan judul yang kontroversial. Harapan saya dengan memilih yang kontroversia tersebut adalah supaya banyak orang yang penasaran dengan postingan saya dan akhirnya membaca esai yang saya buat. Tapi sayangnya masih banyak orang yang hanya melihat judul tanpa membaca isinya dan hal itu sering sekali terjadi. Saya sendiri dulu juga pernah melakukan hal yang demikian, kalau tidak salah pada buku yang berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela” dari Almarhum Gus Dur. Dahulu saya sangat kaget dan membuat postingan yang intinya kecewa terhadap “judul” tersebut. Namun akhirnya saya berfikir bahwa tidak etis rasanya jika saya hanya menilai dari covernya. Akhirnya saya membeli buku tersebut dan membacanya, ternyata isinya di luar dugaan saya dan membuat saya merasa malu kepada diri sendiri karena pernah berfikiran yang negatif mengenai buku tersebut.

Minat baca yang rendah pada sebagian masyarakat kita ternyata membawa dampak yang sangat signifikan. Selain peringkat negara kita yang berada pada posisi buncit, ternyata juga berdampak pada yang lainnya, yaitu moral dan etika.

Pada kasus “Aku Bangga Jadi Anak PKI” dan pada beberapa esai yang saya buat, faktanya bisa membuat mereka yang engga untuk membaca, mengeluarkan kalimat cacian, hatespeech bahkan suudzon terhadap orang lain. Padahal apa yang mereka pikiran belum tentu benar, belum tentu negatif seperti apa yang dipikirkan oleh mereka.

Setiap sekolahan mempunyai perpustakaan, setiap daerah mempunyai perpustakaan daerah dan negara menyediakan perpustakan online yang bisa dimanfaatkan untuk membaca secara gratis. Namun sayangnya minat membaca hanya terjadi ketika menjelang skripsi dan ujian semester. Betapa mirisnya melihat sebagian besar dari kita enggan untuk membaca. Padahal membaca merupakan jendela dunia. Dengan membaca, kita menjadi tahu apa saja yang ada di dunia, pemikiran-pemikiran apa saja yang ada di dunia, dan masih banyak sekali manfaat yang bisa kita dapat dengan membaca.

Dengan membaca kita menjadi tahu sudut pandang lain, dengan membaca kita menjadi tahu tentang apa saja yang ada di dunia. Saat ini sudah banyak penyedia jasa literasi [termasuk saya] dan itu tidak dipungut biaya sepeserpun. Kalian bisa dengan bebas membaca sembari berdiskusi, dan sayangnya banyak sekali yang acuh kepada kesempatan bagus tersebut. Membaca adalah jendela dunia, membaca adalah melawan kebodohan, membaca adalah kawan dikala senggang. Mari membaca.!!!

Krisis Moral dan Etika

[Krisis Moral dan Etika. By Mr.A]

Ternyata benar, selain negaraku tengah mabuk agama, negaraku juga tengah krisis moral dan etika. Saya harus mengakui bahwa dalam setiap esai yang saya buat, akan selalu ada orang yang pro dan kontra. Setiap esai yang saya buat memang tidaklah sempurna, masih butuh perbaikan, kritikan, dan solusi. Saya sangat menghargai semua itu, tapi tidak dengan mereka yang tengah krisis moral dan etika.

Pada esai yang berjudul “KeManusiaan Yang Maha Esa”, ada salah satu seorang wanita sholehah dengan balutan hijab yang mempesona. Dia memberikan kritikan dan saran terhadap esai yang saya buat. Namun sayangnya kritik dan saran yang berguna tersebut tercoreng oleh kalimat yang ia gunakan. Bodoh, dungu, otak dangkal, tulisan tidak berguna, bla bla bla. Itu yang saya maksud dengan krisis moral dan etika.

Apakah masih ada orang di Indonesia ketika memberikan kritik, saran bahkan masukan, dengan menggunakan bahasa yang baik? Sopan santun? Apakah masih ada orang Indonesia yang memperhatikan kaidah penulisan ketika menulis sebuah komentar? Saya yakin masih ada, namun jumlahnya kalah banyak dengan orang yang saya sebutkan di atas. Saya tidak ingin terlihat pintar, saya juga tidak mengklaim bahwa saya adalah orang yang pintar. Namun saya masih sensitif jika ada orang yang berkata bahwa saya bodoh atau orang lain bodoh. Padahal belum tentu apa yang disematkan oleh mereka merupakan sebuah fakta, hanya pemikiran relatif yang timbul karena satu percikan bubuk mesiu.

Banyak dari kita yang suka main hakim sendiri, suka menghina, suka menyudutkan dan saya sampai bosan mengulang kalimat yang sama tersebut ke dalam esai yang saya buat. Apa yang saya terima tidak akan membuat saya jatuh, karena ini hanya media sosial. Apa yang saya terima tidak akan membuat saya gila, karena mengemukakan sebuah pendapat pastilah akan ada pihak yang kontra. Namun sekali lagi saya singgung, bisakah menggunakan bahasa yang baik ketika sedang berkomunikasi dengan orang lain? Dengan orang yang tidak kalian kenal.

Krisis moral dan etika tidak hanya terjadi kepada mereka yang berbuat kriminal, asusila. Krisis moral dan etika juga terjadi kepada mereka yang terlihat alim maupun priya’i. Fakta bahwa negara kita tegah krisis moral dan etika sungguh memperihatinkan, betapa dahsyatnya efek yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi terutama pada internet. Semua orang dalam sekejap bisa menjadi seorang profesor, sejarawan, kritikus bahkan ulama. Hanya dari modal internet.

Kira-kira sampai kapan negara kita akan terus krisis moral dan etika? Kira-kira apa yang akan terjadi jika semua orang mempunyai moral dan etika yang buruk? Akankah kita mampu bersaing dengan negara lain? Akankah kita mampu untuk merebut kuota lapangan kerja yang sekarang tengah di dominasi oleh orang asing?. Betapa beruntungnya orang yang mampu memanfaatkan dan menggunakan akal yang telah diberikan oleh Tuhan, sehingga mereka mampu untuk lebih bijak.

Pada esai yang berjudul “hancurnya sebuah negara” juga sudah saya singgung tentang ‘sesat pikir’, salah satu masalah yang tengah membunuh karakter pemuda/pemudi bangsa ini. Sebuah kesadaran tidak akan terbangun jika kita masih terlena oleh serangan yang dapat mematikan akal kita. Dan itulah yang diinginkan oleh negara-negara penjajah agar masyarakat Indonesia tetap bodoh sehingga kekayaan alam kita dapat mereka ambil secara terus menerus.

Sejatinya manusia diciptakan memang untuk saling mengingatkan, salah satunya. Namun banyak orang yang lupa bagaimana ‘mengingatkan’ dengan cara yang baik, dengan cara yang sejak kecil kita terima. Negara kita terkenal dengan keramahannya, kesopanannya. Tapi lambat laun keramahan dan kesopanan tersebut hilang. Mereka bisa sopan dan ramah terhadap orang asing [bule], namun mereka tidak bisa sopan kepada saudara sebangsa dan setanah airnya sendiri. Bahkan banyak pula anak-anak yang tidak mempunyai rasa sopan kepada orang yang lebih tua.

Kolom komentar di media sosial dipenuhi oleh cacian, hinaan, hatespeech dan kalimat yang berbau sara. Entah mereka melakukan semua itu secara sadar atau tidak, yang pasti krisis moral dan etika yang ada di negara ini harus cepat diatasi. Kita semua mempunyai peran yang sama dan penting dalam membenarkan logika mereka yang telah rusak. Rasanya tidak etis jika kita hanya diam dan membiarkan semua itu terjadi.

Ketika orang telah tumbuh menjadi dewasa, mereka tidak mau lagi diatur, dinasehati. Mereka katanya sudah besar dan bisa mengurus diri mereka sendiri. Faktanya banyak sekali orang dewasa bahkan orang yang sudah berkepala 4 atau 5 yang malah makin memburuk moral dan etikanya. Kita bisa melihat kemirisan tersebut dengan banyaknya admin media sosial yang telah uzur namun masih suka memprovokasi, menebar kebencian, menghina orang lain, dlsb. Jika yang tua saja pola pikirnya sudah rusak, bagaimana dengan mereka yang masih kecil? Kepada siapa mereka akan bercermin dan meniru tingkah laku yang baik jika tidak dari mereka yang lebih tua.

Saking mirisnya saya melihat krisis moral dan etika yang terjadi di negara ini. Saya sering sekali memarahi keponakan saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika mereka mengeluarkan sedikit saja bahkan belum secara penuh berkata kasar, saya sudah terlebih dahulu memarahi mereka. Bahkan saya tidak mengizinkan keponakan saya untuk meminta kuota internet kepada saya. Bukannya saya pelit, tapi saya tidak ingin keponakan saya ikut terlena dalam ke-krisis-an ini.

Semua orang tidak berbatas usia mampu untuk menikmati semua konten yang ada di internet. Saya tidak ingin keponakan saya mengakses dan memiliki akun media sosial. Saya tidak ingin mereka terpengaruh dampak yang belum semestinya mereka terima pada usia dini. Bahkan saya tidak mengizinkan mereka mengakses youtube bahkan hanya untuk melihat film kartun. Sebagai gantinya saya bebaskan mereka untuk menonton film upin dan ipin, boboboy, spongebob, adit sopo jarwo. Saya sebagai yang lebih tua mengalah ketika ingin menonton acara berita di tv, saya lebih memanfaatkan media online sebagai pengganti acara berita di tv.

Untuk memperbaiki moral dan etika generasi bangsa ini, siapa lagi kalu bukan kita. Dengan perantara apalagi jika bukan melalui internal keluarga. Get well soon Indonesians.

Sastra dan Revolusi

[Sastra dalam senjata. By Mr.A]

Sebuah pergulatan di mana semua orang saling membenarkan, saling menyalahkan, saling mengkritik adalah sebuah fase di mana sudah tidak ada lagi yang namanya kepercayaan. Setiap orang terkadang berasumsi negatif terhadap sesuatu yang belum teruji kesalahannya. Hanya karena sebuah “kepercayaan”, banyak diantara kita yang bertindak sesuka hati demi meluapkan sebuah ego atas dasar ke-fanatik-an. Namun inilah yang dinamakan Demokrasi. Di mana setiap orang bebas menyalahkan, membenarkan, membela, membenci, mengkritik bahkan menghujat.

Dalam perkembangannya, ketika suara-suara itu mulai dibungkam karena “katanya” bisa ‘membahayakan’, saat itu pula suara-suara tersebut semakin nyaring terdengar. Sastra, dimana sebuah pemikiran, kritikan, penjabaran, dituangkan dan dituliskan guna menekankan bahwa eksistensi suara tetaplah ada, nyatanya mampu membuat mereka yang berkuasa kerepotan. Berbagai bentuk ekspresi melalui ragam tulisan diekspresikan, terkadang tidak perlu terlalu frontal agar apa yang dihasilkan oleh olah pikiran tetap tersalurkan ke penjuru dunia. Mereka yang berdiri di atas mimbar mengekspresikan pemikirannya melalui sajak-sajak yang erotis, erostis dalam artian menelanjangi sebuah pembungkaman. Mereka berorasi layaknya sedang memainkan opera, di mana penghayatan yang begitu dalam mampu menyihir jutaan pasang mata yang akhirnya akan membawa sebuah revolusi. Sebuah revolusi di mana jutaan hati nurani bergerak guna melawan sebuah penindasan. Sebuah revolusi di mana yang akan melahirkan kehidupan yang lebih baik.

Mereka yang bergulat dalam sastra yang berbau “jokes” dan sedikit sartir juga tidak kalah pentingnya dalam perjuangan kebebasan. Mereka mempunyai idenya sendiri, mereka mempunyai pandangannya sendiri. Namun berbagai macam sudut pandang dan penilaian dalam sastra sebagai sebuah senjata mempunyai tujuan yang sama, yaitu “bersuara”. Tidak peduli betapun orang-orang mencibir, nyatanya itulah salah satu yang harus diterima ketika “bersuara”. Sekedar menulis tanpa aksi apa gunanya? Terkadang saya tertawa membaca komentar yang demikian. Bukankah revolusi kaum kiri berawal dari sebuah tulisan? Bukankah revolusi kaum kanan berawal dari buah pemikiran? Lalu apa bedanya tulisan dengan buah pemikiran jika keduanya sanggup mempengaruhi aksi massa.

Sebuah tulisan mampu melahirkan diskusi, sebuah diskusi mampu melahirkan aksi. Tapi apa yang menyebabkan sebuah tulisan adalah keadaan di mana ingin ada sebuah perubahan. Diskusi terciptak karena rasa penasaran yang akan melahirkan sebuah perubahan. Aksi massa tercipta karena ingin adanya perubahan. Maka berkacalah untuk orang-orang yang menanyakan pertanyaan seperti di atas. Apa yang membuatmu menginginkan sebuah perubahan jika tidak dimulai dari pemikiran. Jika kita semua memiliki satu tujuan yang disebut perubahan, kenapa harus ada cacian, sindiran dan sikap merendahkan. Bukankah kita terlahir dengan karakter yang berbeda, bukankah kita terlahir dengan sudut pandang yang ‘berbeda’ ?. nyatanya setiap orang mempunyai kemampuannya masing-masing, salah satunya mereka yang bergelut dengan sastra.

Ada yang pandai dalam berorasi, ada yang lihai dalam membuat strategi, ada yang teliti dalam mengambil keputusan dan ada pula yang doyan menulis untuk sebuah ‘pergulatan’. Setiap orang mempunyai perannya masing-masing, setipa orang dapat ikut andil sesuai kemampuannya masing-masing. Masih banyak orang yang memandang sebelah mata kepada mereka yang menekuni “sastra”, padahal sastra merupakan salah satu karya terindah atas karunia Tuhan Yang Maha Segalanya. Tanpa sastra tidak akan ada yang namanya Khalil Gibran, Wiji Thukul, Pramoedya Ananta Toer, dkk. Tanpa sastra tidak akan ada yang namanya wawasan dan pemikiran.

Sajak-sajak itu mulai membentuk sebuah harapan, sajak-sajak itu mulai lantang terdengar, sajak-sajak itu mulai tumbuh dan bergelora. Terdengar sepele namun dampak yang ditimbulkan begitu dahsyatnya yang biasa kita sebut dengan nama Revolusi. Itulah sastra, sebuah senjata yang tidak kenal jaman. Itulah sastra, yang biasa digunakan oleh mereka sebagai senjata, ketika sebuah rezim otoriter berkuasa.

Dialektika: Mencari Tuhan

[Dialektika: Mencari Tuhan. By Mr.A]

Sebenarnya mudah untuk menjadi apa yang Tuhan inginkan. Cukup menjadi manusia yang ber-peri-kemanusiaan. Tuhan tidak akan menanyakan apa agamamu. Bahkan seberapa sering kamu beribadah pun belum tentu ditanyakan oleh Tuhan. Bagaimana kamu mencintai saudaramu, sesama manusia bahkan kepada makhluk hidup yang lain, itulah yang seharusnya menjadi amalan untuk mencintai Tuhanmu.

Di dalam agama kita dianjurkan untuk selalu ingat kepada Tuhan, namun terkadang kita lupa dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan. Di dalam agama kita dianjurkan untuk beramal, namun justru banyak diantara kita yang sulit untuk beramal. Bagaimana bisa kamu mencintai Tuhanmu, sedangkan acuh terhadap sesamamu. Tuhan tidak membutuhkan cintamu, karena Tuhan adalah Sang Maha Cinta. Yang Tuhan butuhkan adalah cintamu kepada sesamamu. Bagaimana kamu memuliakan orang tuamu, saudaramu, tetanggamu, kawanmu.

Saat ini banyak sekali orang yang membicarakan tentang Tuhan, Agama, Surga, Neraka. Banyak sekali orang yang gampang mencaci hanya demi membela sebuah agama. Banyak sekali orang yang mendadak rajin beribadah. Namun mereka lupa akan sesama, bahkan dengan mudahnya memusuhi saudaranya sendiri. Bagaimana bisa kamu mencintai Tuhan dan Agamamu, sedangkan kamu membenci dan memusuhi saudaramu.

Dia kafir.!! Dia tidak menyembah Tuhan yang aku sembah.!! Memangnya wujud Tuhan yang kamu sembah seperti apa? Seberapa tinggi badannya, laki-laki atau perempuan? Memangnya kamu pernah melihat Tuhanmu secara langsung? Atas dasar apa kamu berkata seperti itu jika kamu saja tidak mengetahui seperti apa Tuhanmu.

Tapi di kitabku tertulis bahwa kafir adalah musuhku.!! Di kitabku Tuhan menyuruhku untuk memerangi orang kafir.!! Lalu apakah dengan membunuh orang kafir, maka kamu akan masuk surga? Kenapa kamu memusuhi orang kafir, sedangkan si kafir tidak pernah memusuhimu, mengusikmu, mengganggu ibadahmu. Lalu apakah Tuhan sengaja menciptakan orang kafir agar kamu sekalian saling memusuhi? Saling membunuh? Bukankah Tuhan menciptakan kamu sekalian berbeda suku, agama, ras, warna kulit, agar bisa saling mengenal, tolong menolong.

Memang saat ini banyak orang tengah mabuk agama, apa yang mereka lakukan yang katanya demi agama. Lalu bagaimana dengan seorang ibu dan anak yang berbeda keyakinan? Bukankah ridho Ilahi adalah ridho dari sang ibu? Bagaimana jika seumpama sang ibu seorang kafir? Apakah tidak ada surga di telapak kakinya? Apakah tidak ada ridho Ilahi pada dirinya? Apakah ridho Ilahi ada pada ridho ibu hanya ada dalam agama tertentu? Bukankah semua ibu merasakan sakit yang sama ketika melahirkan. Bukankah semua ibu menanggung derita yang sama ketika sedang mengandung? Katanya Tuhan Maha Adil? Apakah para ibu yang kalian katakan kafir tidak pantas mendapatkan ridho Ilahi.

Seberapa sering kamu beribadah, seberapa sering kamu ke masjid, gereja, vihara, kuil, belum tentu akan membawamu ke surga. Jadilah “manusia” terlebih dahulu. Jadilah manusia yang berguna bagi manusia yang lain. Cintai mereka, kasihi mereka, lindungi mereka. Maka Tuhan akan mencintaimu, mengasihimu, melindungimu. Bukankah Tuhan menyuruhmu untuk mengampuni musuhmu, mengasihi musuhmu, berbuat baik kepada musuhmu. Lalu siapakah sebenarnya yang dimaksud musuh oleh kitab sucimu? Agama A menganggap agama B sebagai kafir, begitupula sebaliknya. Namun di satu sisi agama A dan B menyuruh umatnya untuk mengampuni, melindungi musuhmu/kafir.

Cukup jadilah manusia yang memanusiakan manusia.