Muhammad Sang Pemikir

Jika masih ada yang ingat dengan salah satu esai saya yang membahas masalah filsafat, pasti akan ada yang ingat jika filsafat sangat dibenci, bahkan dihindari oleh mereka yang selalu mengkafirkan orang lain. Pengalaman tidak menyenangkan itu pernah saya dapatkan sendiri ketika saya tengah asik menelanjangi agama Islam, menyerang mereka yang selalu menebarkan keresahan. Mereka yang saya maksud adalah kaum wahaboy. Mereka selalu berkata back to sunnah, back to Quran. Pokoknya mereka selalu mengkaitkan apa yang mereka ‘tebarkan’ dengan seorang yang bernama Muhammad.

Awalnya saya enggan untuk membahas Muhammad, Nabi besarnya umat Islam, walaupun saya sudah membaca buku-buku yang membahas kejelakan Muhammad, kegenjilan dari seorang yang bernama Muhammad. Walaupun saya saat itu masih menganut agama Islam, tapi saya tidak keberatan dengan buku-buku yang menyudutkan Muhammad. Karena saya merasa jenuh, hanya sisi-sisi baik dari Muhammad saja yang selalu diperdengungkan. Sampai akhirnya saya menyadari setelah mencumbui buku-buku kiri, ayat-ayat Quran, bahwa Muhammad memang seorang pemikir, tapi anehnya kenapa wahaboy tidak membenci Muhammad? Karena wahaboy tidak mengenal Muhammad itu sendiri.

Saya bukan seorang yang ahli dalam agama, bahkan saya sangat pusing ketika disodori ayat-ayat untuk dipelajari. Saya juga bukan seorang ahli filsafat, karena seperti yang pernah saya jelaskan dalam esai yang berjudul “Bercumbu Dengan Buku”, bahwa saya tipe orang yang mencerna segala ilmu secara random, otodidak. Jika otak saya sanggup untuk mencerna sebuah ilmu, ya saya pelajari. Tetapi jika tidak, maka saya skip.

Bagi saya Muhammad bukan seorang Nabi, tapi seorang pemikir. Kesimpulan saya terhadap Muhammad ketika dosen filsafat Islam menerangkan hal-hal yang berkaitan seputar riba, bunga, syariat Islam, komunis, Sosialis, Kapitalis, Liberalis. Saat itu sedang dibahas masalah riba, bunga, jual-beli, hak. Dosen saya itu menyuruh mahasiswanya untuk membuka dan memahami ayat-ayat yang ada di Quran. Kemudian beliau menjelaskan bahwa Muhammad tidak setuju dengan perbuatan bla bla bla, lalu Muhammad berkata seharusnya bla bla bla. Pokok bahasan itu semuanya menyeret ayat-ayat yang ada di Quran, sehingga dalam benak saya berfikir “Muhammad Sang Pemikir”, bukan seorang Nabi.

Muhammad menjelaskan, menyuruh kepada semua umatnya untuk berbuat adil, berbagi, berbuat kebaikan, dan menghindari keburukan. Karena menurut Muhammad, hal-hal tadi tidak sesuai dengan logika. Misalnya masalah jual-beli hingga investasi. Semua kegiatan itu mengandung riba, bahkan secara bahasa, riba dan bunga itu sama, haram. Tapi tahukah kalian bahwa dalam surah Al Baqarah ayat 275 dan 279, Allah tidak mengharamkan transaksi jual beli yang mengandung kelebihan nominal. Ini sangat jelas bertentangan dengan wahaboy, jika Quran berkata demikian, lalu yang mereka [wahaboy] maksud dengan back to Quran, Quran yang mana? Ini jelas sebuah kecacatan yang nyata, yang diderita oleh mereka yang jarang baca buku, kata dosen saya.

Lalu kemudian secara terang-terangan saya berkata bahwa saya pernah beberapa kali mendebat akun instagram @xbanx.indonesia dan sama sekali tidak ada tanggapan dari adminnya. Saya berkata bahwa uang yang mereka anggap riba, yang tercampur ke dalam APBN yang nantinya akan dialokasikan ke pos-pos yang ada di APBN, yang kemudian akan dimanfaatkan untuk fasilitas publik, tidaklah haram seperti anggapan kaum wahaboy. Karena apa? Ulama di Arab Saudi bahkan dengan terang-terangan menyuruh nasabah di Bank Swiss untuk mengambil bunga yang diterima untuk kemudian dimanfaatkan untuk fasilitas publik. Sebagai catatat, bahwa bunga triliunan rupiah tiap bulannya yang tidak diambil oleh konglomerat-konglomerat Arab Saudi, dimanfaatkan oleh manajemen Bank Swiss untuk aksi kemanusiaan. Apakah aksi kemanusiaan itu haram karena memakai bunga bank? Pasti kaum wahaboy akan beralibi dan tidak mengharamkan aksi sosial itu.

Masalah yang ada di bumi ini, terutama yang menyangkut ekonomi, sudah dijelaskan oleh Muhammad melalui Quran. Pemikiran-pemikiran dari Muhammad dituangkan ke dalam Quran. Apakah agama dan Quran itu diturunkan oleh Tuhan? Tidak. Agama dan Quran murni buatan Muhammad Sang Pemikir.

Pada esai selanjutnya akan saya telanjangi agama saya terdahulu, Islam. Kita buktikan, apakah benar agama dan kitab sucinya turun dari langit?

Bercumbu Dengan Tuhan, pt.2

Banyak orang beragama hanya sebatas beragama tanpa ada niatan untuk memahami apa yang ada di dalam agama itu sendiri. Kata simbah, banyak orang Islam yang hanya sekedar membaca Quran tanpa ada usaha untuk meakukan ibadah-ibadah yang lain. Ini kali ketiga saya menyinggung ibadah suroso, ibaratnya, kita mencucui sepeda yang kita miliki, merawatnya. Usaha kita dalam merawat sepeda yang kita miliki yang disebut dengan ibadah suroso, ini yang paling dasar. Contoh lain dalam ibadah suroso yaitu seperti kita memungut jemuran orang lain yang terjatuh, kemudian kita letakkan kembali ke penjemuran, atau dengan menyingkirkan kerikil di jalan yang bisa membahayakan orang lain. Sederhana bukan? Itulah yang dinamakan dengan ibadah suroso, yang paling sederhana, tapi banyak orang yang melalaikannya. Sedangkan ibadah suroso saja tidak cukup. Kata simbah, perlu sebuah ‘rem’. Simbah menganalogikan rem itu dengan sholat, ngaji, agar ibadah suroso yang kita lakukan tidak kebablasan [rem-nya blong].

Beliau mengaku bahwa beliau ibadahnya tidak sempurna, bukan seorang ahli agama, bukan seorang pendakwah, sehingga urusan benar dan salah dalam ibadahnya, beliau serahkan kepada Tuhan.

Kata simbah, banyak orang Islam beragama hanya sebatas membaca kitab, sedangkan masalah bab-bab lain, sering dilupakan, ibadah suroso contohnya. Jika orang bergama hanya sebatas ngaji, maka akan terus ada sebuah perselisihan antara umat di agama itu sendiri. Oleh sebab itulah, urusan benar dan salahnya beliau beribadah, biar menjadi urusan Tuhan. Lalu beliau mencontohkan perilaku-perilkau orang yang ada di Arab Saudi. Ketika dalam keadaan sholat lalu hp-nya bergetar/berbunyi, orang yang sedang sholat itu dengan lekas mengangkat hp-nya. Lalu masalah sholat subuh, jika di Indonesia umumnya hanya sampai matahari mulai menampakkan diri, beda ceritanya dengan orang-orang di Arab Saudi. Mereka tetap melaksanakan sholat subuh walau waktu sudah pagi atau setengah siang, dan itu banyak terjadi di Arab Saudi yang katanya kiblat orang Islam.

Ada lagi, berdasarkan keterangan dari dosen filsafat Islam di kampus saya, beliau bercerita bahwa ketika waktu sahur sudah habis, banyak orang-orang yang ada di Makkah masih tetap makan sahur. Padahal di Indonesia umumnya ketika adzan subuh telah berkumandang, maka itu menandakan waktu makan sahir sudah habis. Sedangkan di Makkah, bahkan ketika matahari sudah nampak jelas, atau waktu makan sahur sudah amat terlambat, mereka masih tetap menyantap sahur. Inilah yang dinamakan perbedaan, tergantung madzab mana yang diikuti. Dosen saya melanjutkan, terserah kita mau ikut madzab yang mana. Urusan diterima atau tidaknya ibadah kita, biar jadi urusan Tuhan. Lalu saya berbisik kepada teman saya, “sama seperti fatwa air liur anjing, babi.” Tiap madzab berbeda-beda dalam menanggapinya. Imam Hanafi belum tentu benar, Imam Syafi’i belum tentu salah. Bisa saja yang dianggap benar oleh pengikut Imam Hanafi, dianggap salah oleh pengikut Imam Syafi’i. Begitupula sebaliknya, bahkan antara keemap Imam itu tidak ada yang mengklaim bahwa pemikirannya yang paling benar.

Antara guru spiritual saya [simbah], dosen filsafat Islam, keempat Imam, saya jadi paham, bahwa ibadah maupun pemikiran yang berbeda-beda itu adalah persepktif, relatif, jalan yang tidak sama, namun tujuannya sama, agar diterima oleh Tuhan. Seperti yang dianalogikan oleh simbah saya tentang jalur pantura, selatan, laut, udara, kereta api, namun tujuannya sama, yaitu Jakarta. Tapi cobalah kalian lihat umat Islam saat ini, sangat berbeda jauh dengan hal-hal yang saya singgung di atas. Bagi mereka [wahaboy] yang beda adalah musuh, tapi jika yang beda itu berbuat baik kepada mereka, maka yang beda itu dianggap saudara.

Perkara ini seperti yang diterangkan oleh simbah, bahwa banyak umat Islam yang hanya sebatas membaca Qur’an, tanpa mau untuk membaca/mempelajari bab-bab lain [kitab lain di dalam Islam]. Sebetulnya ibadah suroso itu simple, sederhana. Itulah sebabnya saya selalu mengedepankan humanisme dalam hidup saya. Tidak peduli dia bergama apa, suku apa, warna kulit yang bagaimana, bahkan dia seorang LGBT-pun, saya tidak masalah.

Lalu, apakah dengan menjadi agnostik, maka saya salah? Masuk neraka? Padahal jalan yang saya ambil [baca: agnostik] sama halnya dengan keempat madzab, jalur pantura, selatan, udara, laut, kereta api. Maka biarlah Tuhan yang menjadi hakim atas diri saya. Toh, urusan dosa, surga, dan neraka, tidak ada yang tahu dan tidak ada yang bisa membuktikan.

Banyak Monster Di Negaraku pt.2

Ada yang masih ingat dengan esai saya yang judulnya “Banyak Monster Di Negaraku”?, pada esai saya yang terdahulu sudah saya singgung masalah bullying yang menyebabkan anak-anak sekolah saling hatespeech, tawuran, yang paling parah ada sebuah video segerombolan anak kecil yang bernyanyi “bunuh Ahok, bunuh Ahok”. Saya menyebut mereka dengan sebutan monster karena memang perilaku mereka layaknya ‘seekor’ monster karena kalimat mereka begitu menyakitkan, begitu membuat banyak orang geleng-geleng kepala, ketakutan.

Sebenarnya saya sedang tidak mood untuk menulis, tapi secara tidak sengaja melihat postingan dari anggota yang menamakan kelompok mereka dengan sebutan Projo. Kalau dibilang geram, ya saya geram, karena itu menyangkut kemanusiaan. Bagaimana tidak geram, mereka berpendapat dan mendesak pemerintah melalui cuitan di media sosial untuk melakukan hal yang sama kepada anggota/simpatisan HTI. Katanya anggota/simpatisan HTI harus diburu, persis seperti yang dilakukan oleh Soeharto dulu. Katanya lagi, anggota/simpatisan HTI harus dikucilkan, dibawa ke tempat terpencil, diberi tanda red zone, dan dijaga oleh TNI. Mereka berujar seolah kasta mereka lebih tinggi dari anggota/simpatisan HTI, seolah anggota/simpatisan HTI seperti penyakit yang menular, seolah seperti hal yang sangat menjijikan.

Saya sedang tidak membela HTI, tidak pula sedang membela PKI, tapi saya sedang membela kemanusiaan. Anggota/simpatisan HTI itu sekumpulan WNI, sah di mata hukum yang berlaku. Mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama seperti orang lain yang berstatus Warga Negara Indonesia. Silahkan saja melarang paham yang dibawa oleh HTI, yang dibawa oleh PKI, yang dibawa oleh kaum ‘pemberontak’, tapi jangan pernah merampas hak hidup seorang WNI, karena itu sangat bertentangan dengan Pancasila.

Lucunya, mereka mengklaim sebagai seorang yang Pancasilais, Nasionalis, dan selalu menggemakan NKRI Harga Mati, tapi mereka tidak bisa memahami apa itu Pancasila, apa itu perbedaan.

Tidak puaskah negara ini membunuh ratusan ribu, hingga jutaan orang-orang PKI dan yang tertuduh PKI? Apakah harus dan sangat perlu memperlakukan hal yang sama? Mengucilkan, mengkerdilkan, memandang sebelah mata, mendeskriditkan, hingga membunuh para anggota/simpatisan HTI? Apakah itu yang disebut dengan seorang manusia? Tapi tidak mengindahkan peri kemanusiaan.

Jika ada yang berkata “tapi ideologi yang dibawa oleh HTI dan PKI sangat bertentangan dengan Pancasila.” Kata siapa? Yakinkah kalian jika semua ajaran di dalam HTI dan PKI sangat bertentangan dengan Pancasila? Sudahkah kalian membedah pedoman mereka? Sudahkah kalian mengkaji pedoman mereka? Sistem yang mereka bawa? HTI, PKI, Komunis, Liberalis, Kapitalis, Sosialis, semua paham yang ada di dunia ini tidaklah 100% benar dan 100% salah. Karna apa? Semua paham itu tercipta dari olah pikir manusia. Siapa yang bilang jika sistem yang dibawa oleh HTI itu sesuai dengan perintah Tuhan? Keliru! Sistem yang dibawa oleh HTI itu hasil olah pikir dari seseorang yang bernama Muhammad. Semua ada plus dan minusnya, tidak bisa asal menghakimi sebuah pemikiran, kita harus terlebih dahulu membedah dan menelanjangi ajaran yang mereka anut.

Politik membuat semua orang buta, agama membuat semua orang lain buta, ideologi membuat semua orang buta. Dan yang buta itulah yang disebut dengan Fasis. Hanya demi membela seorang tokoh politik, kalian rela menggadaikan humanisme yang ada dalam diri kalian. Ya, hanya demi sesuatu yang ‘bodoh’, kalian rela menjadi seorang monster. Jika pada esai terdahulu yang menjadi subyek adalah anak-anak, maka pada esai kali ini yang menjadi subyek adalah orang-orang dewasa, bahkan orang yang sudah tua.

Mari kita membicarakan politik, mari kita membicarakan agama, mari kita membicarakan ideologi, tapi kita juga harus membicarakan kemanusiaan. Untuk apa terlahir menjadi seseorang yang kaya, yang pintar, yang bodoh, yang miskin tapi tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Di luar sana banyak orang yang pintar dan kaya yang terjebak ke dalam fanatisme, fasisme. Apalagi yang bodoh dan miskin? Lalu permasalahan apakah yang sedang dihadapi oleh kita semua? Kemanusiaan!

‘Bercumbu’ Dengan Tuhan

Banyak orang yang jarang membicarakan Tuhan, mereka lebih suka membicarakan agama dan mengagungkan agamnya. Lalai itu hal yang lumrah bagi manusia, namun lalai yang keterusan itu namanya kebangetan.

Mereka sibuk mengkultuskan agama, mereka sibuk berbicara mengenai hukum-hukum yang ada di dalam agama. Tapi mereka lalai, bahwa Tuhan mempunyai hak mutlak untuk memutuskan, apakah orang itu akan masuk ke dalam neraka atau surga. Ada hal yang lebih menarik daripada membicarakan agama, yaitu ‘bercumbu’ dengan Tuhan. Dan setiap orang mempunyai caranya masing-masing ketika hendak mencumbui Tuhan.

Ada sebuah kisah, di mana ada seorang wanita yang sangat mencintai fisiknya, karna baginya fisik yang indah itu adalah pemberian dari Tuhan yang harus benar-benar ia jaga. Setiap selesai mandi, ia selalu mengoleskan lotion ke tubuhnya, agar kulitnya semakin terlihat cantik, bersih, wangi. Tak lupa pula ia selalu merawat rambut indahnya, sehingga rambut yang ia miliki, berhasil menuai pujian dari orang yang melihatnya. Kebersihan gigi, kuku, selalu ia perhatikan demi menjaga anugrah yang ia terima.

Ia juga sangat mencintai pekerjaannya, karena baginya, pekerjaan yang ia miliki sekarang merupakan hadiah dari Tuhan atas jerih payahnya selama ini. Wanita itu bekerja secara profesional, selalu membuat atasannya takjub atas profesionalisme yang ia perlihatkan. Wanita itu juga sangat mensyukuri besaran gaji yang ia terima, dan sesekali selalu mengingat Tuhannya yang baik hati karena telah membuatnya memikili pekerjaan yang ia cintai.

Setiap habis menerima gaji, wanita itu selalu membeli makanan yang enak-enak, jumlahnya pun terbilang banyak. Namun wanita itu tidak memakan makanan yang ia beli itu seorang diri, ia selalu menyempatkan mengunjungi lorong-lorong kota, berkumpul dengan orang-orang yang tak seberuntung dirinya, dan membagikan makanan itu kepada mereka yang membutuhkan. Karena sepengetahuannya, Tuhan melalui perantaranya menyuruh manusia untuk saling berbagi, mengasihi.

Wanita itu berhasil bercumbu dengan Tuhan, dengan caranya sendiri. Ia sangat menikmati aktivitas yang jarang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan ia lebih suka bercumbu dengan Tuhan daripada membicarakan dan bertingkah sok suci atas dalih agama.

Ya, alangkah indahnya hidup ini jika semua orang bisa mencumbui Tuhan mereka, bermesraan dengan Tuhan mereka, memeluk Tuhan mereka. Betapa bahagianya Tuhan jika semua manusia seperti wanita itu yang tidak pernah menjadi hakim masalah surga dan neraka, benar dan salah.

Ada satu cerita lagi, yaitu berkisah mengenai seorang lelaki miskin yang setiap hari harus berjuang demi sesuap nasi. Untuk makan setiap hari saja ia masih kuwalahan, bagaimana mungkin ia bisa seperti wanita tadi yang bisa setiap saat merawat fisiknya. Namun di tengah ketidakmampuan lelaki itu untuk merawat diri, ia berhasil bercumbu dengan Tuhan.

Di sela-sela aktivitasnya mencari rejeki, ia selalu sholat, beribadah, ngaji walau sebentar, dan katanya, hal yang paling ia sukai yaitu ketika ia menciumi dan merasakan nikmatnya aroma Tuhan. Ya, setiap kali ia selesai beribadah, ia selalu menghirup dalam-dalam aroma sajadah, menghirup dalam-dalam aroma Qur’an. Katanya, ia merasa lega, semangat, bahagia berbunga-bunga ketika sedang menciumi Tuhan. Baginya mencumbui Tuhan lebih nikmat daripada bergelut pada persoalan agama, beda pandangan, menghakimi sesama manusia.

Lelaki itu setiap hari mencumbui Tuhannya, ngobrol bareng Tuhannya, bergurau dengan Tuhannya tatkala ia melihat ada orang yang bertingkah sok suci mengatasnamakan agama. Baginya membicarakan agama tidak akan pernah ada habisnya, malah yang ada akan menyulut permusuhan, dan menurutnya Tuhan sangat membenci permusuhan.

Mari kita berbicara mengenai sedekah laut, sedekah bumi. Ritual maupun budaya semacam itu tidak banyak ada di dunia, karna apa? Orang yang suka bercumbu dengan Tuhan itu jarang adanya. Melalui sedekah bumi dan sedekah laut, mereka berusaha untuk mengucap syukur atas karunia Tuhan yang telah melimpahkan hasil bumi. Tahukah kalian jika ada banyak orang yang tidak rela ketika buah mangga [contoh] yang ia miliki dicuri oleh orang lain? Itu karena mereka jarang bahkan tidak pernah bercumbu dengan Tuhannya. Namun coba lihatlah orang-orang yang rela melepas dan mengikhlaskan hasil panennya ke laut, ke orang-orang sekitar untuk dinikmati secara bersama-sama. Sampai sini sudah paham?

Negeri Ngacengan

Sudah beberapa tahun ini Indonesia mengalami ‘ke-ngaceng-an’. Ya, kondisi syahwat negara ini memang gampang sekali ngaceng karena ajang perebutan kekuasaan. Semua orang pada ngaceng, kubu sana ngaceng, kubu sini ngaceng, kubu sebelahnya ngaceng, kubu sebelahnya ngaceng juga. Bahas tokoh A, ngaceng. Bahas tokoh B, ngaceng. Bahas agama A, ngaceng. Bahas agama B, ngaceng. Bahas ideologi A, ngaceng. Bahas ideologi B, ngaceng juga. Hal-hal yang begitu sepele, dibesar-besarkan. Ada kasus yang sepele, dibesar-besarkan juga. Bahkan beritanya hingga kini masih santer terdengar. Nuntut inilah, nuntut itulah. Katanya musim pilpres 2019 ini harus damai, harus adem. Mereka dengan bangga dan percaya diri mengkampanyekan musim pilpres yang damai dan adem, tapi untuk kasus yang sepele saja selalu dibesar-besarkan. Black campagin-lah, negative campagin-lah. Mereka berbicara A tapi kelakuan Z, ngacengan! Disentuh sedikit saja langsung tegang.

Yang lebih ajaib, mereka ngaceng-nya diumbar, diperlihatkan ke semua orang. Entah maksudnya apa, atau mungkin mereka yang ngaceng itu ingin menegaskan bahwa ngacengnya mereka itu lebih keras, lebih besar, sehingga makin besar ngacengnya, malah semakin memuaskan mereka, dan membuat yang tadinya ngaceng setengah keras, jadi tidak ngaceng lagi. Atau yang lebih parah, dibuat tidak bisa ngaceng seumur hidup. Yang satu memperlihatkan bahwa punya mereka itu besar, hitam, sehingga membuat banyak orang tergila-gila bahkan sampai rela dipoligami. Yang satunya memperlihatkan bahwa punya mereka setengah besar, namun tidak terlalu hitam, pas [katanya] sehingga dirasa cocok dengan kultur budaya yang ada di negara ini. Tapi untungnya apa? Memperlihatkan ‘ke-ngaceng-an’ ke semua orang merupakan tindakan yang teramat bodoh. Memamerkan ‘ke-ngaceng-an’ ke semua orang dan menganggap ngacengnya mereka yang paling keras, merupakan tindakan yang menjijikan.

Yup, pada kenyataannya kubu-kubu itu mengklaim sebagai kubu yang peduli kepada kondisi negara, mengklaim paling nasionalis, mengklaim paling beriman. Namun setelahnya mereka sama-sama akan menempati ‘kasta’ yang disebut fasis. Mereka mudah teringgung ketika ada kritikan ke Jokowi, ke Prabowo, maupun ke Islam dan Kristen. Para pejuang akhir zaman-lah, para pejuang nasionalis-lah, gusti mboten sare-lah. Pokoknya mereka mengklaim kelompok mereka-lah yang paling benar sehingga satu kritikan pun yang datang ke kubu mereka, akan mereka hilangkan secepat dan sebisa mungkin. Karena bagi mereka tokoh yang diidolakan tidak pernah berbuat salah. Bahkan dengan gampangnya membanding-bandingkan kesalahan idola mereka dengan idola dari kubu yang lain. Mereka gampang ‘ngaceng’ ketika ada orang lain yang menyentuh idola mereka.

Menutupi kesalahan diri sendiri dengan kesalahan orang lain merupakan tindakan yang tercela. Membandingkan kesalahan yang dilakukan oleh diri sendiri denga kesalahan yang dilakukan oleh orang lain merupakan tindakan yang tidak terpuji. Kenapa kita tidak mengakui kesalahan yang kita buat? kenapa harus menyeret kesalahan orang lain? Seolah kesalahan yang kita buat adalah kesalahan yang kecil, sehingga kita merasa bersalah atas kesalahan yang kita perbuat. Apakah saya lebih baik dari kamu? Apakah kamu lebih baik dari saya? Apakah kesalahan yang saya buat lebih parah dari kesalahan yang kamu buat? Apakah kesalah yang kamu buat tidak lebih parah dengan kesalahan yang saya buat? Apakah kalian sudah merasa bahwa kalian suci? Saya jadi teringat sebuah cerita tentang seorang tamu yang lebih memilih meminum air comberan daripada meminum air bersih dan enak yang disuguhkan. Kata pemilik rumah, air comberan itu kotor, najis. Lalu dengan gampangnya tamu itu berkata bahwa “apakah kamu lebih suci dari air comberan ini? apakah kamu bisa menjamin bahwa air yang kamu suguhkan benar-benar air yang suci?”.

Sosialis Utopis dan Hegemoni Perlawanan

Suatu hal yang menyebalkan jika kita berbicara mengenai sesuatu yang tidak kita mengerti sedikitpun. Dan saya-pun tidak mengelak jika terkadang saya sok tau terhadap sesuatu yang belum benar-benar saya pahami. Namun terkadang lucu, jika di luar sana banyak yang menertawakan hasil pemikiran kita tetapi mereka sendiri tidak sanggup untuk berfikir, bahkan tidak sanggup membuat pemikiran yang dapat membantah dari pemikiran orang lain. Asumsi, paradoks, bias, bahkan menginterprestasikan saja mereka tidak mampu.

Komunis, Sosialis, Feminis, Anarko Sindikalis, adalah beberapa contoh sebuah paham yang sering dianggap remeh. Padahal ‘pemberontakan’ itu berawal dari beberapa paham tersebut, revolusi berawal dari beberapa paham tersebut. Lalu, kira-kira apakah yang sanggup untuk membuat aksi massa jika tanpa kesadaran? Tanpa kemauan untuk menuju perubahan? Kapitalis, Liberalis, apakah ada aksi massa yang berawal dari dua paham barusan? Tidak ada. Justru aksi massa untuk menuju ke arah yang lebih baik, selalu dipropagandakan oleh paham-paham kiri. Namun anehnya ekstrimis islam di Indonesia justru membenci Komunis dkk. Padahal, setiap aksi yang mereka lakukan merupakan atas dasar ‘ketidak-adilan’. Kesadaran atas sesuatu yang menggerakan mereka [ekstrimis islam] berawal dari komunis dkk. Tapi sayangnya saya sedang tidak ingin membahas mereka, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan setelah berbulan-bulan mendapatkan kritikan yang sama.

Mungkin masih ada yang ingat tentang pernyataan saya, bahwa saya lebih condong ke Sosialis Utopis. Kecondongan saya itu juga yang menyebabkan adanya ledekan Sosjing, Kimcil Kekirian, Seksis, dlsb yang ditujukan kepada saya. Alright, itu hak kalian, dan saya juga tidak masalah mendapatkan stigma seperti apapun. Itu karena saya mencoba untuk tidak menjadi kolot dan primitif. Perkara ‘kolot’ dan ‘primitif’ ini juga pernah beberapa kali saya singgung.

Kadar otak kita, pengetahuan kita, intelektualitas kita, sudah jauh lebih baik dari Stalin, Lenin, Marx, dkk. Itulah sebabnya saya tidak mengacu sepenuhnya terhadap pemikiran mereka. Saya lebih suka nge-mix, menggabungkan apa yang baik dari semua paham, meninggalkan yang jelek dari semua paham, memperbahauri yang ‘kolot’ dan ‘primitif’ dari semua paham. Idealis, rasionalis, realistis, saya mengacu pada tiga pilar itu.

Dalam menginterprestasikan dan mengimplementasikan apa yang saya anut, saya membutuhkan idealis, rasionalis, realistis, agar apa yang saya utarakan tidak terkesan ‘kolot’ dan ‘primitif’. Jika saya masih tetap bebal mempertahankan kemurnian dari “kiri”, makin akan banyak yang menertawakan paham-paham yang berbau kiri. Paham-paham kiri itu harus disesuaikan dengan keadaan bangsa ini, dengan kenyataan yang ada, sehingga kiri itu bisa diterima oleh banyak orang. Layaknya Islam Nusantara. Orang-orang Islam Nusantara tidak sepenuhnya “copy-paste” Islam yang ada di Timur Tengah. Orang-orang Islam Nusantara tidak mengabaikan 3 pilar tadi sehingga Islam bisa diterima dengan baik oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Orang-orang Islam Nusantara tidak mungkin memakai cadar, burqa, niqab. Karena apa? Faktanya iklim di Indonesia berbeda dengan iklim yang ada di Timur Tengah. Realistis, rasionalis, dan tetap idealis sesuai dengan Islam itu sendiri, tidak ‘kolot’ dan ‘primitf’ dengan hanya mengandalkan Quran dan Hadist. Disesuaikan dengan riwayat-riwayat, cerita-cerita, tafsir-tafir, madzab, dll. Dan secara perlahan, tanpa saya sadari, saya berkaca pada Islam Nusantara dalam memahami Sosialis Utopis yang saya pelajari dan saya implementasikan, bahwa otak saya, akal saya, pandangan saya, berbeda dengan pandangan Stalin, Lenin, Marx, Mao, dengan keadaan negara mereka, dengan kultur negara mereka, dengan pandangan politik mereka. Sangat tidak baik juga jika saya memaksakan apa yang terjadi di China dan Soviet, saya praktekan, saya propagandakan di Indonesia. yang ada akan banyak masyarakat Indonesia yang merasa kaget dan risih terhadap macam-macam aliran kiri.

Saya masih ingat betul ketika ada seorang Kapitalis [sebenarnya fansboy dari Jokowi] menyerang saya secara bertubi-tubi. Dia berkata bahwa kiri menerapkan cara yang kejam demi eksistensi pemeluk kiri. Pembunuhan, genjaan senjata, dar der dor, bla bla bla. Saya memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan sanggahannya. Melalui berbagai film dokumenter, biografi, akhirnya saya bisa menganalisa dan menemukan jawabannya. Fansboy itu berbicara mengenai Kamboja, China, Soviet, Vietnam, pokoknya pembantaian yang ada kaitannya dengan Komunis. Mungkin dalam hal ini saya belum mampu untuk merangkai kalimat agar kalian semua paham. Tapi saya akan mencoba menjawabnya.

Saya ambil sau contoh di Vietnam. Melalui film “First They Kill My Father” saya bisa sedikit melakukan pembelaan. Pada saat itu, keadaan di Vietnam belum stabil, masih ada civil war, masih ada intervensi dari Amerika Serikat. Dalam keadaan perang, dalam keadaan darurat, rasanya sah-sah saja jika kita semua berlaku adil. Membagi makanan enak yang kita punya, berbagi dengan sesama. Tanpa ada rasa egois, tanpa ada rasa rakus, kita harus berbagi dengan sesama kita. Itulah yang disebut dengan memanusiakan manusia. Jika kita punya makanan enak, uang banyak, tapi kita sedang berada dalam situasi perang, tentunya akan sangat menjijikan jika kita tidak bisa berbagi dengan sesama. Rasanya sangat pantas jika orang egois itu ditembak mati oleh tentara komunis di Vietnam karena orang egois itu mengabaikan saudaranya.

Kekejaman Komunis di Vietnam seharusnya bisa dijadikan contoh, bahwa kita semua harus berbagi dalam keadaan darurat. Namun sayangnya keadaan darurat itu dipropagandakan untuk menyudutkan Komunis agar Komunis terlihat kejam, melakukan pembantaian, sehingga serangan dari fansboy tadi selalu dijadikan senjata yang ampuh untuk melancarkan serangan kepada orang-orang kiri. Dalam film dokumenter dan biografi yang membahas Komunis, pembantaian-pembantaian itu selalu dijadikan media agar orang-orang membenci Komunis yang terlihat kejam dan bengis. Padahal pesan moral yang saya ambil dari film arahan Angelina Jolie itu sangatlah bagus, yaitu kita diajarkan untuk berbagi, bekerja sama, bersatu dalam perang melawan Amerika Serikat, sehingga semua rakyat Vietnam dapat menyatukan kekuatan untuk mengakhiri perang dengan sebuah kemenangan.

Di Indonesia, saat ini keadaannya damai, tentram, tidak ada konflik yang bisa membuat negara mengalami distabilitas karena konflik bersenjata sehingga membuat semua masyarakat Indonesia ketakutan. Namun ketika saya membahas masalah Komunis, terutama Sosialis Utopis, para fansboy-fansboy itu selalu saja menggunakan tragedi di masa lalu untuk menyerang pemeluk kiri. Seperti yang sudah saya jelaskan, bahwa yang dianggap kekejaman dari Komunis itu karena memang sedang dalam keadaan konflik, darurat militer, negara goyah. Yang lalu biarlah berlalu, karena itu sudah tidak lagi revelan dengan saat ini karena otak, daya pikir, akal kita, sudah jauh lebih baik dari jamannya Stalin, Lenin, Marx, Mao dkk.

Sama halnya ketika ada beberapa orang menantang saya untuk adu otot. Buat apa? Perilaku barbar, premanisme, dan perilaku kekerasan yang lain sudah tidak lagi relevan dengan abad ini. [Sosialis Utopis dan Hegemoni Perlawanan. By Mr.A]

CP: jevuska@yahoo.com

IG: Jevuska_

WRONG AREA

Sebelumnya aku tak pernah merasa sesepi ini, tak pernah merasa se-stuck ini. Bahkan aku juga tidak menyangka harus mengalaminya disaat aku benar-benar membutuhkan seorang teman. Sebenarnya aku malu jika aku harus menuliskan kisahku di sini, bahkan melakukan hal seperti ini menurutku sangatlah lemah. Tapi aku juga tidak ingin berbohong, tidak ingin munafik dan berusaha tetap tegar.

Dulu aku punya seorang teman, bahkan terbilang teman sejati. Berkawan sudah lebih dari 10 tahun. Namun aku dan dia tentunya mempunyai kesibukan masing-masing, dan sekarang benar-benar sudah jarang ketemu, sudah jarang pergi bareng, sudah jarang ngobrol. Sengaja aku tidak menceritakan apa yang membebani pikiranku. Risih, iya risih, walau sebenarnya Ia tidak akan pernah merasa keberatan mendengar ceritaku. Namun sekedar bercerita saja menurutku tidak akan cukup untuk mengusir beban di otakku. Itulah kenapa aku bilang “risih” karena tidak ingin merepotkan Dia dengan segala kemauanku. Sempat aku mengirimi dia pesan, ku panggil namanya, namun ketika Dia menjawab pesanku, aku bilang “tidak ada apa-apa”. Padahal aku ingin sekali bercerita, ingin sekali mengajaknya ke suatu tempat di mana aku biasa berkunjung ketika otakku jenuh, ketika banyak masalah. Aku pernah mengajaknya beberapa kali ke tempat itu, tapi ketika aku mengirim pesan tadi, aku mengurungkan niatku untuk mengajaknya ke sana. “risih”, karena aku merasa bahwa diriku sangatlah lemah saat ini.

Aku juga pernah punya seorang teman. Kenal hanya sebentar, ketemu hanya sebentar, namun aku merasa cocok ketika jalan dengannya. Saat itu tidak sengaja aku mendapatkan pesan darinya di aplikasi obroloan. Saat itu dia berkata bahwa dia sedang mencari teman, karena dia ke sini hanya untuk mengunjungi kakaknya yang tengah kuliah. Katanya dia mebutuhkan teman untuk ngobrol, untuk menemaninya jalan-jalan. Ya, dia bukan asli orang Pekalongan, dia orang Solo, namanya Aden, seumuran denganku.

Pernah sekali ketika pikiranku jenuh, aku menyuruhnya untuk menjemputku, berkendara ke mana saja yang penting kejenuhanku hilang. Rata-rata temanku menolak ketika aku meminta mereka untuk menemaniku, tapi Aden tidak, Dia langsung bergegas menjemputku, mengajakku berkendara. Malam itu aku benar-benar menjadi sosok yang beruntung, “damn God, i feels free” menikmati semilir angin dari atas kendaraan bermotor, bercumbu dengan seksinya malam saat itu, dan kejenuhanku benar-benar hilang.

Tapi sayangnya Aden hanya 3 hari berada di Pekalongan, dia kembali ke Solo, kembali ke rumahnya. Lalu aku merasa kehilangan seorang teman, dan kehilangan itu bertambah parah ketika aku tidak sengaja mereset factory handphone-ku, kemudian aku kehilangan kontaknya Aden. Sudah 3 tahunan aku tak pernah berhasil untuk mendapatkan kontaknya kembali, sudah 3 tahunan juga aku benar-benar merasa menyesal. Bahkan hingga saat ini, ketika aku merasa sebosan ini, sejenuh ini, hanya bisa mengingat wajahnya, namanya, dan malam itu. Andaikan Dia ada saat ini, mungkin aku tak akan merasa sefrustasi ini. Temanku banyak, aku juga punya sahabat, tapi menemukan orang yang benar-benar klop, susah, teramat susah.

Mungkin akan ada banyak yang bertanya “why a man like me looks so weak. Why you act like a girl.” Damn what? Apakah seorang lelaki tidak boleh mengeluh dan merasa kesepian? Maybe yes i am has so many friends, but i am only a human, this is only me, not look likes you and you and you. We’re not the same, our lifes, your lifes, my lifes, not same. It’s so fucking idiots if y’ll judges me because im looks like that. Why y’ll not shut up your fucking mouth! Arrggggh, now im looks like so idiots.