UU MD3, untuk siapa?

UU MD3, untuk siapa? By Mr.A

Saya tidak akan membahas secara mendetail tentang tiap butir yang ada pada UU MD3 dan saya juga tidak akan menyoroti semua butir yang terkandung di dalamnya. Saya hanya akan sedikit berbicara secara umum tentang UU MD3. Saya mengajak kalian semua untuk bermain logika mengenai UU MD3 yang sangat kontroversial ini.

Beberapa pekan yang lalu publik dihebohkan dengan revisi UU MD3 yang diundangkan oleh DPR. Tanpa ada angin, badai maupun bau bangkai. Tiba-tiba saja UU MD3 berhasil menyita perhatian publik. UU MD3 yang intinya akan menjerat siapapun yang mengkritik bahkan menghina wakil rakyat dan polisi wajib mematuhi DPR untuk menjemput paksa terduga tersebut, dan bisa menyandera terduga atas perintah DPR dan hal itu wajib dilaksanakan oleh pihak kepolisian.

Selama yang saya tahu dan selama yang saya cermati semenjak tahun 2015, tidak ada sebuah hinaan atau celaan yang dilancarkan kepada wakil rakyat. Yang ada hanya berupa sarkasme, meme dan kalimat yang wajar [tidak mengandung hatespeech]. Apakah kalian pernah menemui sebuah poster atau sesuatu yang menyela wakil rakyat kita? Tidak ada! Yang ada hanya sebuah pernyataan kekecewaan atas sikap para wakil rakyat di senayan.

RUU MD3 ada sejak tahun 2014 dan tidak ada alasan menjadikan pasal penghinaan kepada Presiden sebagai bahan pembanding karena pasal penghinaan kepada Presiden setahu saya baru dibicarakan beberapa bulan terakhir. Namun di sinilah letak anehnya UU MD3 yang diundangkan. Mari kita bermain logika.

Siapapun tidak boleh mengkritik atau menghina anggota DPR. Sedangkan Bapak Fadli Zon, Bapak Fahri Hamzah sangat sering berkicau melalui media sosial yang intinya “nyinyir” kepada pemerintahan Joko Widodo. Pola pikir macam apa ini? Kami tidak boleh “nyinyir” sedangkan mereka [anggota DPR] bisa dengan bebas “nyinyir” ke pemerintah. Apakah ini adil? Apakah ini sesuai dengan tugas dan fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat? Yang ada malah saya tertawa terbahak-bahak melihat fakta konyol yang terjadi di Indonesia.

Haruskan kita melakukan revolusi agar mereka sadar betapa kacaunya Indonesia saat ini? Haruskah rakyat dan mahasiswa kembali menduduki gedung DPR? Rasanya bangsa ini sudah dewasa dalam menyikapi persoalan yang ada. Namun ternyata semakin dewasa bangsa ini, semakin mengalami kemunduran pola pikirnya. Mereka yang duduk di kursi pemerintahan tidak menghasilkan kerja yang benar-benar pro kepada rakyat. Mereka hanya berjuang untuk golongan mereka, untuk kolega mereka dan untuk diri mereka sendiri.

Para golongan fasisme semakin menunjukan eksistensi mereka, belum lagi dengan golongan fundamentalis yang mengancam kedaulatan dan stabilitas negara. Dan faktanya antara fasisme maupun fundamentalisme, mereka membentuk sebuah kekuatan untuk menggoyang pemerintahan.

Kenapa DPR hanya berkutat pada UU MD3 dan membahas segala hal yang tidak penting. Kenapa DPR tidak mengesahkan Undang-Undang yang intinya melarang atau setidaknya membatasi gerak fasisme dan fundamentalisme. Sejak dulu fasisme berhasil menguasi jerman yang berakibat pada pemberantasan ras yahudi. Sejak dulu fundamentalisme telah mengancam Indonesia dengan adanya NII DI/TII. Rasanya para anggota dewan rata-rata mengenyam pendidikan yang tinggi dan mempunyai tingkat intelektual yang memadai untuk menghadapi persoalan yang sedang terjadi.

Faktanya saat ini kubu oposisi dan kubu pro pemerintah sedang terjadi tarik ulur seperti anak kecil yang sedang rebutan permen. Tidak bisakah mereka bersinergi memperjuangkan hak rakyat miskin, mengusir para kapitalis, mengusir para perampok tanah, membasmi oknum birokrat nakal dan hal yang bermanfaat lainnya daripada harus saling adu ego untuk golongan masing-masing.

Kembali pada judul di atas “untuk siapakah UU MD3?”. Untuk rakyat, atau untuk golongan tertentu atau untuk persiapan kebangkitan orde baru. Jika iya, revolusi saja! Bila perlu bubarkan saja negara ini daripada harus berlutut di hadapan para penindas!

Leave a comment